Pernahkah kita benar-benar
menyadari bahwa kesehatan adalah rezeki tertinggi yang Allah berikan?
Sering kali kita terlalu sibuk
mengejar harta, jabatan, atau kedudukan, padahal semua itu tidak akan berarti
jika tubuh kita sakit. Ketika badan lemah atau tidak bertenaga, uang dan
jabatan tidak lagi terasa berharga.
Sebaliknya, dengan tubuh yang
sehat, kita bisa melakukan banyak hal seperti berpuasa, shalat, mengaji,
belajar di sekolah atau kampus, bekerja, berorganisasi, bahkan sekadar
berjalan-jalan bersama keluarga. Semua aktivitas itu menjadi mungkin karena
kita diberi nikmat sehat oleh Allah.
Kesadaran tentang pentingnya
kesehatan ini juga ditegaskan oleh Syaikh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi.
Beliau berkata:
المَالُ هُوَ أَدْنَى دَرَجَاتِ الرِّزْقِ،
وَالعَافِيَةُ أَعْلَى دَرَجَاتِ الرِّزْقِ، وَصَلَاحُ الأَبْنَاءِ أَفْضَلُ
أَنْوَاعِ الرِّزْقِ، وَرِضَا رَبِّ العَالَمِينَ فَهُوَ تَمَامُ الرِّزْقِ
“Harta adalah rezeki yang
paling rendah. Kesehatan adalah rezeki yang paling tinggi. Anak yang saleh
adalah rezeki yang paling utama. Sedangkan ridha Allah adalah rezeki yang
sempurna.”
Ungkapan beliau mengingatkan kita
bahwa ukuran rezeki tidak selalu soal materi. Harta memang penting, tetapi tidak
ada artinya tanpa kesehatan. Bahkan, seseorang yang kaya raya pun tidak akan
bisa menikmati kekayaannya bila tubuhnya sakit. Karena itu, kesehatan sejatinya
adalah anugerah tertinggi yang patut kita jaga dan syukuri setiap saat.
Untuk memahami betapa berharganya nikmat sehat, mari kita renungkan satu hal sederhana yang sering terlupakan misalnya bernapas. Setiap hari kita menghirup udara dengan begitu mudah, tanpa pernah memikirkan berapa nilainya.
Menurut beberapa sumber, setiap orang rata-rata membutuhkan sekitar 561 liter oksigen setiap hari. Kalau angka itu kita bandingkan dengan harga oksigen medis, satu tabung besar berisi sekitar 6.800 liter dan harganya sekitar Rp98.000 per isi ulang. Artinya, satu tabung itu cukup untuk sekitar dua belas hari, dan kalau dikalikan setahun, kita akan membutuhkan sekitar tiga puluh tabung dengan total biaya hampir tiga juta rupiah.
Bayangkan, hanya untuk bernapas saja nilainya sebesar itu! Padahal, oksigen yang kita hirup setiap detik diberikan gratis oleh Allah tanpa batas. Dari sini kita bisa memahami betapa besar nikmat sehat dan napas yang sering kita anggap sepele, padahal nilainya jauh melebihi harta.
Sungguh luar biasa, bukan? Betapa mahalnya harga napas jika Allah menagih bayaran untuk setiap helanya. Maka, napas yang selama ini kita anggap biasa sebenarnya adalah nikmat luar biasa yang tak ternilai harganya.
Kesadaran inilah yang seharusnya
menumbuhkan rasa syukur dalam diri kita. Allah dengan tegas mengingatkan dalam
firman-Nya:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي
لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga) tatkala
Tuhanmu memaklumatkan: Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepada kalian; dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
(QS. Ibrahim: 7)
Ayat ini menegaskan bahwa rasa
syukur adalah kunci bertambahnya nikmat. Semakin kita bersyukur, semakin Allah
tambahkan karunia-Nya—baik berupa kesehatan, ketenangan, maupun rezeki dalam
bentuk lainnya. Namun jika kita lalai dan tidak mensyukuri nikmat itu, maka
nikmat tersebut bisa saja dicabut kapan saja.
Oleh karena itu, Allah juga
berfirman dalam ayat lain:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي
وَلَا تَكْفُرُونِ
“Maka ingatlah kepada-Ku,
niscaya Aku akan mengingat kalian. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian
kufur (kepada-Ku).” (QS. Al-Baqarah: 152)
Dari dua ayat ini, kita bisa
mengambil pelajaran bahwa mensyukuri nikmat kesehatan bukan sekadar ucapan,
tetapi juga tindakan. Menjaga tubuh agar tetap sehat, tidak berlebihan dalam
makan, tidak merusak diri dengan kebiasaan buruk, serta menggunakan waktu sehat
untuk beribadah dan berbuat baik, semuanya adalah bentuk nyata dari rasa syukur
kepada Allah.
Maka, jelaslah bahwa kesehatan
adalah bagian dari rezeki yang paling berharga, nikmat yang sering kita abaikan
padahal tanpanya kita tak bisa berbuat apa-apa. Selama kita masih bisa bernapas
dengan bebas, melangkah dengan ringan, dan beribadah dengan tenang, di situlah
sebenarnya letak kekayaan sejati seorang hamba.
Dan ketika kita pandai bersyukur atas nikmat itu, insya Allah, Allah akan
menambahkannya dengan nikmat yang lebih besar lagi. (agp)
Tidak ada komentar: